MOTTO

Waktu adalah pedang, bila engkau tidak memanfaatkannya niscaya ia akan memotongmu. (Ali bin Abi Thalib).

TAK ADA KATA KALAH SEBELUM ENGKAU TERKUBUR DALAM TANAH

....MARI BERLOMBA - LOMBA MEMBANGUN DESA....

Jumat, 07 Mei 2010

KEMANDIRIAN, HASIL SEBUAH PROSES

MODAL PENUJU ARAH KEMANDIRIAN

Ketika dimulai, PPK diandalkan sebagai sebuah langkah pembaruan bagi pelaksanaan pembangunan masyarakat di Indonesia, tetapi bukan langkah yang baru. Karena pada saat di mulai, sudah berbagai program bagi masyarakat yang berjalan, dan dengan media pembangunan partisipatif sebetulnya PPK memulainya pada titik ujung ketidak percayaan desa terhadap sistem pembangunan partisipatif yang dilakukan lebih dari 20 tahun, UDKP. Di dalam perjalanannya, “era yang lama” itu menimbulkan sebuah sekat tipis di perdesaan, antara pemimpin dengan yang dipimpin , antara elite desa dengan masyarakatnya. Memang, semestinya ketika dulu diluncurkan kegiatan perencanaan dan pembangunan melalui proses P5D di mana forum UDKP menjadi media bagi peran masyarakat desa, diawali dengan berpikir dan bekerja untuk masyarakat. Kemudian berkembang dengan semangat mewakili masyarakat dan mungkin karena ”iklim” yang berkembang terus akhirnya bekerja ”atas nama” masyarakat. Lambat laun sekatnya tidak mudah ditembus meski tetap tipis. Di sinilah titik masuk PPK di dalam mengubah pola pembangunan, dari membangun masyarakat menjadi masyarakat membangun.

Ada beberapa kebijakan PPK yang mengarah ke pembaruan pola laku pembangunan, yaitu : 1) desentralisasi, 2) keputusan di tangan masyarakat melalui forumnya, 3) open menu, dengan menggunakan media bantuan langsung masyarakat (BLM). Dengan metode Pengembangan Masyarakat ( community development) PPK dimulai dengan sebuah pergumulan pendapat, apa bisa masyarakat mengambil keputusan? Jika dijawab dengan cepat justru akan semakin menguatkan kekhawatiran itu, dan akan memicu terjadinya ”penguasaan-penguasaan” kehendak yang diistilahkan intervensi oleh pihak-pihak yang berposisi di atas sekat tipis tersebut. Jika dijawab dengan sebuah fasilitasi yang konsekuen dan konsisten akan ditanggapi dengan keluhan berbelit-beleit, tidak efektif, dan sejenisnya, tetapi memang itulah yang harus dilakukan dalam sebuah pengembangan masyarakat. Itulah yang dinamakan proses. Dalam sebuah proses tentunya tidak bijak kalau ditanyakan apa yang dihasilkan dari sebuah kegiatan yang dilaksanakan, tetapi akan lebih arif jika diketahui bagaimana dilaksanakannya. Dengan proseslah maka sekat tipis tapi kuat itu dapat ditembus dengan pemahaman yang meresap, dan bagian bawah sekat (masyarakat) akhirnya dapat tersentuh. Fasilitasi yang konsekuen dan konsisten, atau dalam bahasa masyarakat pendampingan yang terus menerus menjadikan PPK sebagai program yang ”dimaui” masyarakat. Metode PM menuntut sebuah konsistensi pendampingan tersendiri, yaitu fasilitator hanya bersifat sebagai katalisator, mereka menciptakan proses tetapi tidak ikut berproses. Dan ketika masyarakat ”dimaui” para calon kepala daerah, sekitar tahun 2004 atau 5 tahun setelah PPK berkiprah, masyarakatlah yang menentukannya sendiri. Di dalam pengembangan masyarakat, semua yang dicapai adalah karena masyarakat itu sendiri, sehingga merekalah yang menjawab pertanyaan ”apa masyarakat bisa mengambil keputusan?”.

BEKAL UNTUK MANDIRI

PPK sudah berjalan sekian langkah, dan prosespun sudah berlangsung, apapun kualitas proses itu. Proses PM akan menghasilkan beberapa proses pemberdayaan masyarakat, dan saatnyalah ditanyakan bagaimana hasil (pemberdayaan) yang dicapai? Hasil-hasil itu menjadi aset-aset yang harus dimiliki masyarakat, berupa ; 1) pelaku-pelaku dari masyarakat, 2) sarana, prasarana dan kegiatan-kegiatan yang dapat dimanfaatkan masyarakat dan masih berlangsung, 3) kapasitas lembaga masyarakat dan desa, 4) kelembagaan di kecamatan yang terbangun untuk koordinasi antar desa dan menjamin adanya partisapsi masyarakat, 5) dana bergulir. Dengan aset-aset inilah sudah semestinya dipertanyakan apa yang bisa dilakukan masyarakat terhadap prakarsa-prakarsa mereka sendiri, dengan kata lain pemberdayaan apa yang sudah dicapai masyarakat? Teori domino akan menunjukkan kualitas hasil yang dicapai, karena proses pertama akan mempengaruhi proses berikutnya dan selanjutnya. Kualitas hasil akan dapat ditunjukan, dan kualitas pemberdayaan yang terjadi akan diketahui. Dengan aset yang baik masyarakat dapat didorong untuk berbuat, atas prakarsa sendiri, dan mereka sudah bisa diajak memasuki alam kemandirian seberapun yang mereka bisa. Satu petunjuk yang mestinya diberlakukan dalam mengukur kemandirian adalah kemampuan melaksanakan dan menyelesaikan apa yang diprakarsai mereka sendiri. Kemampuan itu harus berdasarkan apa (aset) yang telah dimilikinya, dan aset-aset yang didapat dalam PPK merupakan hasil keputusan mereka sendiri dengan mengolah bahan yang diberikan oleh pemerintah (eksternal). Mengawali kemandirian yang demikian itu perlu dipagari dengan pertanyaan ” apakah masyarakat tetap dapat memiliki hasil keputusan mereka?”

MEMASUKI ALAM KEMANDIRIAN.

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, harus disambut dengan mengembangkan pemahaman dari arti disetiap kata-katanya. Jika diruntut dalam perjalanan PPK sejak 1998, bisa didapatkan sebuah garis merah yang menjelaskan terjadinya proses dalam program. Program dimulai dengan semangat membangkitkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan, yang difasilitasi melalui pertemuan-pertemuan secara berjenjang, mulai dari kelompok hingga kecamatan. Setiap tahun proses akan berulang, dan pengulangan ini sudah semestinya dilakukan dengan melakukan pengembangan prakarsa dan cara yang disesuaikan pemahaman yang dapat diserap masyarakat. Pengulangan dilakukan dengan adanya peningkatan kualitas proses, dan dengan cara inilah partisipasi akan menciptakan proses pemberdayaan dalam aspek-aspek kegiatan yang dilaksanakan. Dalam tahapan kegiatan PPK banyak aspek terkandung di dalamnya sebagai sebuah proses pemberdayaan, paling tidak kalau kita sebutkan adalah sbb :

  1. Tahap perencanaan, ada kemampuan ”mengumpulkan masyarakat”, mendorong munculnya gagasan, mengemas gagasan-gagasan dalam sebuah perencanaan yang membutuhkan kemampuan penyajian data, menyusun desain dan perhitungan dalam sebuah dokumen (administratif)
  2. Tahap pelaksanaan, membutuhkan fasilitasi bagi masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mengelola pekerjaan yang terdiri dari mengelola tenaga kerja, mengelola pengadaan dan distribusi bahan, menyusun rencana kegiatan dan aliran dananya (cash flow), membuat pelaporan, dan tentunya meningkatkan pengetahuan dan kemampuan teknis tentang jenis kegiatan tersebut.
  3. Paska pelaksanaan, yaitu pengelolaan hasil kegiatan, membutuhkan peningkatan kapasitas pengorganisasian, perencanaan pemanfaatan dan pemeliharaan, serta kemampuan menyusun perangkat lunak berupa aturan dan tata laksana kerjanya.

Di dalam tiga tahapan pelaksanaan itu terkandung pula proses pemberdayaan bagi lembaga masyarakat maupun pelaku-pelakunya, seperti ; a) membangun komunikasi untuk menjamin terjadinya arus informasi timbal balik, b) mengelola konflik dan c) koordinasi antar desa, antara lembaga masyarakat dengan birokrasi. Mekanisme kegiatan PPK yang bertumpu pada pertemuan masyarakat melalui forum secara berjenjang menjadi sebuah proses pelembagaan kehidupan masyarakat dalam pengembilan keputusan. Di dalam pelembagaan ini akan memunculkan sebuah kearifan lokal.

Mengukur peningkatan pemberdayaan dari aspek-aspek seperti tersebut di atas menjadi bagian penting untuk memfasilitasi kemandirian masyarakat dan lembaganya dalam PNPM Mandiri, dan agar kemandirian tersebut bersifat saling mengisi antar desa dan akhirnya terjadi proses saling menunjang maka perlu penguatan kelembagaan di tingkat kecamatan. Dalam PNPM Mandiri harus dimulai dengan pijakan pada dua kelembagaan yang ada di kecamatan, yang pertama adalah pemerintah kecamatan yang memiliki kekuatan hukum formal dan forum MAD yang memiliki kekuatan partisipasi masyarakat. Dengan kata lain, mencapai kemandirian dalam PNPM Mandiri harus dimulai penguatan kelembagaan di tingkat kecamatan, karena jika itu terjadi maka dengan sendirinya akan terjadi koordinasi antar desa, maupun antar desa dengan kabupaten Ada dua hal yang perlu dipahami dan dikaji agar kemitraan itu terjadi, yaitu :

- Forum MAD sebagai hasil fasilitasi PPK jangan dipandang sebagai sebuah kepemimpinan alternatif, tetapi sebuah kemitraan dengan kelembagaan formal yang sudah ada, dalam hal ini Camat.

- Apa yang dihasilkan selama proses PPK, dan tentunya program lain dengan bentuk fasilitasi yang sama, adalah apa yang dinamakan sebuah ”kedaulatan masyarakat ”. Tantangannya adalah jika kedaulatan masyarakat diformalkan justru akan menghilangkan arti kedaulatan tersebut.

Dengan mengukur pemberdayaan yang sudah terjadi, mari kita inventarisir kekuatan untuk memulai PNPM Mandiri Perdesaan, dengan tetap menjadikan kecamatan sebagai basis koordinasi dan tetap menjaga arti kedaulatan masyarakat. Di dalam kemandirian yang akan dibangun masih akan terjadi proses pemberdayaan masyarakat, antara lain pemberdayaan di dalam menyusun sebuah planning (rancangan) pembangunan yang berkelanjutan dan berkesinambungan, yang bersinergi antar satu dengan lain desa, dan bersinergi dengan perencanaan pembangunan daaerah. Mencapai pemberdayaan dalam aspek tersebut menghasilkan proses pemberdayaan kelembagaan di tingkat kecamatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Kritik dan Saran Membangun, Bukan cemooh..nuwun